RSS

Penjelasan Rukun Iman

by Abu Muawiah

Aqidah Islamiah dibangun di atas rukun iman yang enam, yaitu: Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhirat, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.
Keenam rukun ini telah disebutkan secara jelas dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من ءامن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Adapun, iman kepada takdir maka disebutkan dalam firman-Nya:
إنا كل شيء خلقناه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)
Sementara dari As-Sunnah adalah hadits Umar bin Al-Khaththab yang masyhur tentang kisah datangnya Jibril alaihissalam untuk bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang iman. Maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim no. 9)

Berikut penjelasan ringkas mengenai keenam rukun iman ini:
1. Iman kepada Allah.
Tidaklah seseorang dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 perkara:
a. Mengimani adanya Allah Ta’ala.
b. Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah.
c. Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah Ta’ala.
d. Mengimani semua nama dan sifat Allah yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam tetapkan untuk Allah, serta menjauhi ta’thil, tahrif, takyif, dan tamtsil.

2. Iman kepada para malaikat Allah.
Maksudnya kita wajib membenarkan bahwa para malaikat itu ada wujudnya dimana Allah Ta’ala menciptakan mereka dari cahaya. Mereka adalah makhluk dan hamba Allah yang selalu patuh dan beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
ومن عنده لا يستكبرون عن عبادته ولايستحسرون يسبحون الليل والنهار لايفترون
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya`: 19-20)
Kita wajib mengimani secara rinci setiap malaikat yang kita ketahui namanya seperti Jibril, Mikail, dan Israfil. Adapun yang kita tidak ketahui namanya maka kita mengimani mereka secara global. Di antara bentuk beriman kepada mereka adalah mengimani setiap tugas dan amalan mereka yang tersebut dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti mengantar wahyu, menurunkan hujan, mencabut nyawa, dan seterusnya.

3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
Yaitu kita mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah kalam-Nya, dan kalamullah bukanlah makhluk karena kalam merupakan sifat Allah dan sifat Allah bukanlah makhluk.
Kita juga wajib mengimani secara terperinci semua kitab yang namanya disebutkan dalam Al-Qur`an seperti taurat, injil, zabur, suhuf Ibrahim, dan suhuf Musa. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimani secara global bahwa Allah Ta’ala mempunyai kitab lain selain daripada yang diterangkan kepada kita. Secara khusus tentang Al-Qur`an, kita wajib mengimani bahwa dia merupakan penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun sebelumnya.

4. Iman kepada para nabi dan rasul Allah.
Yaitu mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata.
Wajib mengimani bahwa semua wahyu nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala. Karenanya siapa saja yang mendustakan kenabian salah seorang di antara mereka maka sama saja dia telah mendustakan seluruh nabi lainnya. Karenanya Allah Ta’ala mengkafirkan Yahudi dan Nashrani tatkala tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Allah mendustakan keimanan mereka kepada Musa dan Isa alaihimassalam, karena mereka tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Juga wajib mengimani secara terperinci setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita wajib mengimaninya secara global. Allah Ta’ala berfirman:
ولقد أرسلنا رسلاً من قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)

5. Iman kepada hari akhir.
Dikatakan hari akhir karena dia adalah hari terakhir bagi dunia ini, tidak ada lagi hari keesokan harinya. Hari akhir adalah hari dimana Allah Ta’ala mewafatkan seluruh makhluk yang masih hidup ketika itu -kecuali yang Allah perkecualikan-, lalu mereka semua dibangkitkan untuk mempertanggung jawabkan amalan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
كما بدأنا أول خلق نعيده وعدا علينا إنا كنا فاعلين
“Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya, janji dari Kami, sesungguhnya Kami pasti akan melakukannya.” (QS. Al-Anbiya`: 104)
Ini makna hari akhir secara khusus, walaupun sebenarnya beriman kepada akhir itu mencakup 3 perkara, dimana siapa saja yang mengingkari salah satunya maka hakikatnya dia tidak beriman kepada hari akhir. Ketiga perkara itu adalah:
a. Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh -yaitu alam di antara dunia dan akhirat- berupa fitnah kubur oleh 2 malaikat, nikmat kubur bagi yang lulus dari fitnah, dan siksa kubur bagi yang tidak selamat darinya.
b. Mengimani tanda-tanda hari kiamat, baik tanda-tanda kecil yang jumlahnya puluhan, maupun tanda-tanda besar yang para ulama sebutkan jumlahnya ada 10. Di antaranya: Munculnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa alaihissalam, keluarnya Ya`juj dan Ma`jun, dan seterusnya hingga terbitnya matahari dari sebelah barat.
c. Mengimani semua yang terjadi setelah kebangkitan. Dan kejadian ini kalau mau diruntut sebagai berikut: Kebangkitan lalu berdiri di padang mahsyar, lalu telaga, lalu hisab (tanya jawab dan pembagian kitab), mizan (penimbangan amalan), sirath, neraka, qintharah (titian kedua setelah shirath), dan terakhir surga.

6. Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.
Maksudnya kita wajib mengimani bahwa semua yang Allah takdirkan, apakah kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Beriman kepada takdir Allah tidak teranggap sempurna hingga mengimani 4 perkara:
a. Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengimani segala sesuatu kejadian, yang baik maupun yang buruk. Bahwa Allah mengetahui semua kejadian yang telah berlalu, yang sedang terjadi, yang belum terjadi, dan semua kejadian yang tidak jadi terjadi seandainya terjadi maka Allah tahu bagaimana terjadinya.
Allah Ta’ala berfirman:
لتعلموا أن الله على كل شيء قدير وأن الله قد أحاط بكل شيء علما
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
b. Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan semua takdir makhluk di lauh al-mahfuzh, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menuliskan takdir bagi semua makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 4797)
c. Mengimani bahwa tidak ada satupun gerakan dan diamnya makhluk di langit, di bumi, dan di seluruh alam semesta kecuali semua baru terjadi setelah Allah menghendaki. Tidaklah makhluk bergerak kecuali dengan kehendak dan izin-Nya, sebagaimana tidaklah mereka diam dan tidak bergerak kecuali setelah ada kehendak dan izin dari-Nya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (mengerjakan sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)
d. Mengimani bahwa seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat mereka beserta seluruh sifat dan perbuatan mereka adalah makhluk ciptaan Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الله خالق كل شيء
“Allah menciptakan segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

http://al-atsariyyah.com/penjelasan-rukun-iman.html


Baca Selengkapnya......
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keutamaan Para Sahabat

oleh Abu Muawiah

Di antara ushul akidah ahlissunnah wal jamaah adalah mencintai para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, at-taradhdhi (mengucapkan ‘radhiallahu anhu’) untuk mereka, meyakini bahwa mereka adalah manusia terpercaya, serta berusaha untuk menyebarkan keutamaan mereka kepada kaum muslimin. Ahlussunnah juga tidak larut memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan berlepas diri dari semua sekte yang membenci dan merendahkan sahabat dan ahlul bait. Yaitu Rafidhah yang sampai menuhankan ahlul bait dan mengkafirkan sahabat lainnya, serta Nashibah yang membenci ahlul bait Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Nash-nash Al-Qur`an telah menjadi saksi akan keutamaan mereka dan terpercayanya mereka dalam memikul agama. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar, serta Dia juga meridhai semua orang sepeninggal mereka yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah Ta’ala juga memberikan kabar gembira kepada mereka seluruhnya bahwa mereka adalah penghuni surga lagi kekal di dalamnya. Dan siapa saja yang Allah Ta’ala telah ridhai maka dia tidak akan meninggal dalam keadaan kafir, akan tetapi dia pasti meninggal dalam keadaan mempunyai iman yang sempurna dan dia pasti termasuk penghuni surga. Karenanya sebagian ulama ada yang berdalil dengan ayat di atas untuk menyatakan bahwa para sahabat -secara umum- telah dijamin masuk surga, wallahu a’lam.
Ayat di atas juga sebagai sanggahan telak kepada rafidhah yang berkeyakinan kafirnya para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam sepeninggal beliau, dan semua dalil yang menyatakan keutamaan mereka adalah mansukh (terhapus hukumnya). Maka jawabannya sebagaimana di atas bahwa tatkala Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu di masa yang akan datang, maka pastilah semua orang yang Dia ridhai pastilah akan meninggal dalam keadaan mukmin.
Dalam ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
لقد رضي الله عن المؤمنين إذ يبايعونك تحت الشجرة فعلم مافي قلوبهم فأنزل السكينة عليهم وأثابهم فتحا قريبا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
Dalam dari hadits Jabir radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
“Insya Allah tidak akan masuk ke dalam neraka seorang pun dari orang-orang yang turut serta berbai’at di bawah pohon.” (HR. Muslim no. 4552)
Dan kalimat ‘insya Allah’ di sini bukanlah harapan akan tetapi maknanya ‘pemastian’. Karenanya hadits di atas menunjukkan pastinya mereka masuk surga.
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan mereka adalah hadits Jabir radhiallahu anhu: dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ أَنْتُمْ خَيْرُ أَهْلِ الْأَرْضِ. وَكُنَّا أَلْفًا وَأَرْبَعَ مِائَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami pada peristiwa Hudaibiyyah: “Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.” Saat itu kami berjumlah seribu empat ratus orang.” (HR. Al-Bukhari no. 3839)
Juga firman Allah Ta’ala:
لايستوي منكم من أنفق من قبل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أنفقوا من بعد وقاتلوا وكلا وعد الله الحسنى والله بما تعملون خبير
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 10)
Karenanya, siapa saja yang pernah bersahabat dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan meninggal di atas keimanan kepada Allah, maka Allah Ta’ala telah menjanjikan surga untuknya.
Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Al-Bukhari no. 2458 dan Muslim no. 4601)
Semua dalil-dalil di atas memuji sahabat secara umum tanpa menyebutkan individunya. Di sisi lain, ada juga beberapa hadits yang memuji individu tertentu di antara sahabat. Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Auf bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, Zubair masuk surga, Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) masuk surga, Said (bin Zaid) masuk surga dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah masuk surga.” (HR. At-Tirmizi no. 3680)
Penyebutan 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga ini tidaklah menunjukkan pembatasan. Karena telah shahih dalil hadits yang lain dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam menjamin masuk surga untuk sahabat lainnya. Seperti kabar dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa Qais bin Tsabit radhiallahu anhu masuk surga, dan haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Sebagaimana Al-Bukhari juga meriwayatkan pemastian masuk surganya Abdullah bin Salaam radhiallahu anhu.
Barang siapa yang mengamati sirah dan perjalanan hidup para sahabat beserta berbagai keutamaan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka seperti iman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad dan berhijrah di jalan-Nya, menolong agama dan Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Siapa yang mengamati seluruh keadaan mereka di atas, niscaya dia akan mengetahui secara yakin bahwasanya mereka adalah makhluk yang terbaik setelah para nabi, bahwa sanya mereka adalah manusia pilihan dari umat ini, dan bahwasanya mereka adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah.
Seandainya tidak ada satupun dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang memuji mereka, maka keadaan mereka -berupa hijrah, jihad, menolong agama, mengerahkan harta dan nyawa untuk membela agama, kekuatan iman dan yakin, dan seterusnya- tentulah mengharuskan kita untuk memastikan sifat terpercayanya mereka dan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih utama dibandingkan semua makhluk setelah mereka.
Inilah mazhab ahlussunnah dalam menyikapi para sahabat radhiallahu anhum. Adapun selain mereka dari kalangan penganut bid’ah dan kesesatan, maka mereka melemparkan celaan dan kebencian kepada para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam atau kepada sebagian di antara mereka. Padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya jikalau salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebanyak bukit uhud, maka pahalanya itu tidak akan menyamai pahala sedekah 1 mudd satu orang di antara mereka, bahkan tidak pula setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3397 dan Muslim no. 4610)
1 mudd seukuran dua telapak tangan lelaki dewasa.
Imam Al-Auzai rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencela seorangpun di antara sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ketahuilah dia itu adalah zindiq. Hal itu karena Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam di mata kami adalah kebenaran dan Al-Qur`an juga adalah kebenaran. Sementara tidak ada yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`an dan sunnah ini kecuali para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang mereka inginkan dari mencela para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak lain kecuali karena mereka ingin mengkritisi para saksi (agama) kita sehingga mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan sunnah. Padahal kritikan itu lebih pantas diarahkan kepada mereka, dan mereka ini adalah orang-orang zindiq.”
Ucapan Al-Auzai rahimahullah di atas menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya dari penganut bid’ah ketika mereka mencela sahabat adalah untuk mencacati Al-Kitab dan sunnah. Karena Al-Kitab dan sunnah dinukil kepada kita dari jalur para sahabat radhiallahu anhum. Karenanya serangan kepada para sahabat atau salah seorang dari mereka sebenarnya adalah serangan kepada Al-Kitab dan sunnah.
Dan bisa-bisanya mereka mencela para sahabat radhiallahu anhum, sementara mereka adalah sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam di dunia dan di akhirat. Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa suatu malam para sahabat pergi mencari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Setelah bertemu beliau, mereka berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشْفَقْنَا أَنْ يَكُونَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اخْتَارَ لَكَ أَصْحَابًا غَيْرَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا بَلْ أَنْتُمْ أَصْحَابِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Wahai Rasulullah! Kami sempat khawatir jangan-jangan Allah Tabaaroka wa Ta’aalaa memilih sahabat-sahabat lain selain kami untuk anda. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak, kalian adalah sahabat-sahabatku di dunia dan akhirat.” (HR. Ahmad no. 21708 dengan sanad yang shahih).

http://al-atsariyyah.com/keutamaan-para-sahabat.html

Baca Selengkapnya......
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keutamaan Para Sahabat

oleh Abu Muawiah

Di antara ushul akidah ahlissunnah wal jamaah adalah mencintai para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, at-taradhdhi (mengucapkan ‘radhiallahu anhu’) untuk mereka, meyakini bahwa mereka adalah manusia terpercaya, serta berusaha untuk menyebarkan keutamaan mereka kepada kaum muslimin. Ahlussunnah juga tidak larut memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan berlepas diri dari semua sekte yang membenci dan merendahkan sahabat dan ahlul bait. Yaitu Rafidhah yang sampai menuhankan ahlul bait dan mengkafirkan sahabat lainnya, serta Nashibah yang membenci ahlul bait Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Nash-nash Al-Qur`an telah menjadi saksi akan keutamaan mereka dan terpercayanya mereka dalam memikul agama. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar, serta Dia juga meridhai semua orang sepeninggal mereka yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah Ta’ala juga memberikan kabar gembira kepada mereka seluruhnya bahwa mereka adalah penghuni surga lagi kekal di dalamnya. Dan siapa saja yang Allah Ta’ala telah ridhai maka dia tidak akan meninggal dalam keadaan kafir, akan tetapi dia pasti meninggal dalam keadaan mempunyai iman yang sempurna dan dia pasti termasuk penghuni surga. Karenanya sebagian ulama ada yang berdalil dengan ayat di atas untuk menyatakan bahwa para sahabat -secara umum- telah dijamin masuk surga, wallahu a’lam.
Ayat di atas juga sebagai sanggahan telak kepada rafidhah yang berkeyakinan kafirnya para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam sepeninggal beliau, dan semua dalil yang menyatakan keutamaan mereka adalah mansukh (terhapus hukumnya). Maka jawabannya sebagaimana di atas bahwa tatkala Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu di masa yang akan datang, maka pastilah semua orang yang Dia ridhai pastilah akan meninggal dalam keadaan mukmin.
Dalam ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
لقد رضي الله عن المؤمنين إذ يبايعونك تحت الشجرة فعلم مافي قلوبهم فأنزل السكينة عليهم وأثابهم فتحا قريبا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
Dalam dari hadits Jabir radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
“Insya Allah tidak akan masuk ke dalam neraka seorang pun dari orang-orang yang turut serta berbai’at di bawah pohon.” (HR. Muslim no. 4552)
Dan kalimat ‘insya Allah’ di sini bukanlah harapan akan tetapi maknanya ‘pemastian’. Karenanya hadits di atas menunjukkan pastinya mereka masuk surga.
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan mereka adalah hadits Jabir radhiallahu anhu: dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ أَنْتُمْ خَيْرُ أَهْلِ الْأَرْضِ. وَكُنَّا أَلْفًا وَأَرْبَعَ مِائَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami pada peristiwa Hudaibiyyah: “Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.” Saat itu kami berjumlah seribu empat ratus orang.” (HR. Al-Bukhari no. 3839)
Juga firman Allah Ta’ala:
لايستوي منكم من أنفق من قبل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أنفقوا من بعد وقاتلوا وكلا وعد الله الحسنى والله بما تعملون خبير
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 10)
Karenanya, siapa saja yang pernah bersahabat dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan meninggal di atas keimanan kepada Allah, maka Allah Ta’ala telah menjanjikan surga untuknya.
Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Al-Bukhari no. 2458 dan Muslim no. 4601)
Semua dalil-dalil di atas memuji sahabat secara umum tanpa menyebutkan individunya. Di sisi lain, ada juga beberapa hadits yang memuji individu tertentu di antara sahabat. Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Auf bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, Zubair masuk surga, Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) masuk surga, Said (bin Zaid) masuk surga dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah masuk surga.” (HR. At-Tirmizi no. 3680)
Penyebutan 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga ini tidaklah menunjukkan pembatasan. Karena telah shahih dalil hadits yang lain dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam menjamin masuk surga untuk sahabat lainnya. Seperti kabar dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa Qais bin Tsabit radhiallahu anhu masuk surga, dan haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Sebagaimana Al-Bukhari juga meriwayatkan pemastian masuk surganya Abdullah bin Salaam radhiallahu anhu.
Barang siapa yang mengamati sirah dan perjalanan hidup para sahabat beserta berbagai keutamaan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka seperti iman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad dan berhijrah di jalan-Nya, menolong agama dan Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Siapa yang mengamati seluruh keadaan mereka di atas, niscaya dia akan mengetahui secara yakin bahwasanya mereka adalah makhluk yang terbaik setelah para nabi, bahwa sanya mereka adalah manusia pilihan dari umat ini, dan bahwasanya mereka adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah.
Seandainya tidak ada satupun dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang memuji mereka, maka keadaan mereka -berupa hijrah, jihad, menolong agama, mengerahkan harta dan nyawa untuk membela agama, kekuatan iman dan yakin, dan seterusnya- tentulah mengharuskan kita untuk memastikan sifat terpercayanya mereka dan bahwa mereka adalah makhluk yang lebih utama dibandingkan semua makhluk setelah mereka.
Inilah mazhab ahlussunnah dalam menyikapi para sahabat radhiallahu anhum. Adapun selain mereka dari kalangan penganut bid’ah dan kesesatan, maka mereka melemparkan celaan dan kebencian kepada para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam atau kepada sebagian di antara mereka. Padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya jikalau salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebanyak bukit uhud, maka pahalanya itu tidak akan menyamai pahala sedekah 1 mudd satu orang di antara mereka, bahkan tidak pula setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3397 dan Muslim no. 4610)
1 mudd seukuran dua telapak tangan lelaki dewasa.
Imam Al-Auzai rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencela seorangpun di antara sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ketahuilah dia itu adalah zindiq. Hal itu karena Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam di mata kami adalah kebenaran dan Al-Qur`an juga adalah kebenaran. Sementara tidak ada yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`an dan sunnah ini kecuali para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang mereka inginkan dari mencela para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak lain kecuali karena mereka ingin mengkritisi para saksi (agama) kita sehingga mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan sunnah. Padahal kritikan itu lebih pantas diarahkan kepada mereka, dan mereka ini adalah orang-orang zindiq.”
Ucapan Al-Auzai rahimahullah di atas menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya dari penganut bid’ah ketika mereka mencela sahabat adalah untuk mencacati Al-Kitab dan sunnah. Karena Al-Kitab dan sunnah dinukil kepada kita dari jalur para sahabat radhiallahu anhum. Karenanya serangan kepada para sahabat atau salah seorang dari mereka sebenarnya adalah serangan kepada Al-Kitab dan sunnah.
Dan bisa-bisanya mereka mencela para sahabat radhiallahu anhum, sementara mereka adalah sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam di dunia dan di akhirat. Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa suatu malam para sahabat pergi mencari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Setelah bertemu beliau, mereka berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشْفَقْنَا أَنْ يَكُونَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اخْتَارَ لَكَ أَصْحَابًا غَيْرَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا بَلْ أَنْتُمْ أَصْحَابِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Wahai Rasulullah! Kami sempat khawatir jangan-jangan Allah Tabaaroka wa Ta’aalaa memilih sahabat-sahabat lain selain kami untuk anda. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak, kalian adalah sahabat-sahabatku di dunia dan akhirat.” (HR. Ahmad no. 21708 dengan sanad yang shahih).

http://al-atsariyyah.com/keutamaan-para-sahabat.html

Baca Selengkapnya......
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Salahkah Menembak Mati Tentara GAM ?

Tanya

Saya seorang tentara, ketika di Aceh saya sering menembak mati orang-orang GAM, mereka sering mengucapkan takbir, sampai saat ini saya masih gundah. Dalam pikiran saya mereka juga Islam.Bila saya tidak tembak maka saya yg ditembak, siapa yang salah ?




Dijawab oleh Al Ustadz Ja’far Shalih

Yang salah adalah yang memberontak. Yang memberontak pada pemimpin yang sah. Dan seorang muslim,tidak mesti dibunuh dikarenakan kekufuran. Ada yang dibunuh karena berzina. Muslim yang muhshon (sudah menikah), kemudian berzina, maka dibunuh dengan rajam. Begitu pula Al Mufariqu lil Jama’ah (yang berpisah dari jama’ah kaum muslimin), yaitu yang memberontak, mereka itu bughot (para pemberontak). Dan anda tidak salah apabila anda ditugaskan untuk menembak mereka.

Ditranskrip dari rekaman tanya jawab dengan Al Ustadz Ja’far Shalih

http://www.4shared.com/file/95356124/430bd857/Tanya_Jawab_Pekan_ke-3_Ustadz_Jafar_Sholeh.html

http://tashfiyah.net/?p=224

Baca Selengkapnya......
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS